13 Oktober 2011

Re: Re: Found interesting opportunity...

Hey.
it seemed like I was cornered this really intrigued me miracles really do exist get a head start on it
http://kirakiraholic.web.fc2.com/PeterScott64.html
see you soon.

08 Oktober 2011

Re: Re: Just look...

Hola friend.
you can use this to discover your true economic potential
http://www.thinkbizsolutions.com/AdamEdwards90.html
talk to you soon

10 Agustus 2011

my friends were sick of always paying for me nobody was much help to me this was my last resort !
http://astanovo.com/DeanArmstrong55.html I started and never looked back I heard you can use some help
Really easy method to make some extra cash

15 April 2010

Rudi Cahyono wants to keep up with you on Twitter

Rudi Cahyono wants to keep up with you on Twitter

Twitter connects you with everything you want to know, right now. Short bursts of information are readily available from news organizations, corporate entities, politicians, celebrities, local businesses - even your close friends and family. Also, if you have something to share with the world, Twitter makes it super easy. To join for free, click the link below. http://twitter.com/i/1d7d032e28553d5f708f524aed60084edb90cd4e

Thanks,

@twitter

About Twitter, Inc.

Founded in 2007, Twitter Inc believes the open exchange of information can have a positive global impact. Every "Tweet" is limited to 140 characters of text or links which means they are easily written or read on a wide variety of services and devices including any mobile phone, social networks, television, Macs, PCs, and the Web.

This message was sent by a Twitter user who entered your email address. If you'd prefer not to receive emails when other people invite you to Twitter, click here: http://twitter.com/i/o?c=9531RzGkCdQ3eKOVyyqMsc1Q7KB4jIm9Mv8rkh3xnkjvWLBJy1ErZ404lz0a%2Fum9

Please do not reply to this message; it was sent from an unmonitored email address. This message is a service email related to your use of Twitter. For general inquiries or to request support with your Twitter account, please visit us at Twitter Support.

03 November 2009

Lihat profil Netlog saya

   
    Tidak mau lagi menerima undangan dari teman kamu? Klik disini.    
     
 

Rudi Cahyono
laki-laki - 28 tahun
Jawa Timur



    Hai!

Saya telah membuat profil Netlog dengan foto-foto saya, video-video, blog dan event dan saya ingin menambahkan kamu sebagai teman sehingga kamu bisa melihat semua ini. Pertama-tama kamu harus mendaftar di Netlog!
Kemudian kamu dapat membuat profil kamu sendiri.


  Coba lihat  

Salam,
Rudi
 
       
   
  Apakah tombol diatas tidak ditampilkan dengan jelas?
Klik disini , atau tempel link dibawah ini di balok alamat di browser kamu.
http://id.netlog.com/go/mailurl/type=invite_1&mailid=16786119&id=6&url=-L2dvL3JlZ2lzdGVyL2lkPTQ2NDA4OTAxJmk9aDk1







Tidak mau lagi menerima undangan dari teman kamu? Klik disini.

Netlog NV/SA - E. Braunplein 18. B-9000 Gent. Belgium. .
BE0859635972 - abuse-id@netlog.com

 
   

11 Mei 2009

Kesatuan Hati

Kesatuan tim melebihi sekedar kerja sama, tetapi juga pemahaman, penjiwaan dan kemengarahan pada visi bersama. Paling tidak ada tiga kunci keindahan berada dalam tim yang mengerti diri, mengerti anggota tim yang lain dan membadan membentuk tujuan yang mengarahkan tiap langkah, tiap helahan nafas, tiap kedipan mata, tiap desiran bulu kudu dan setiap aliran darah.
Kuncinya adalah:
1. Penghayatan diri
2. Kesaling mengertian satu sama lain
3. Melangkah bersama dengan satu jiwa



15 April 2009

NEGATIVE WORKING

Kemaren saya dan teman-teman muda dari Fakultas Psikologi diundang di rektorat untuk rapat singkat pembekalan bagi dosen-dosen yang akan terjun bebas ke lapangan perang, mengawasi UN di beberapa kota, Gresik, Tuban, Lamongan dan Bojonegoro. Kita diberikan tugas menjadi pengawas dari pengawas ujian untuk SMA dan MAN di beberapa kota tersebut.
Datang direktorat agak kaget juga karena di pintu lift, yang sama-sama memencet tombol untuk mengangkat kita ke lantai lima ternyata juga ada banyak orang. Rata-rata mereka adalah wajah-wajah senior yang bisa dibilang sudah cukup sepuh. Temanku mulai curiga bahwa yang diundang memang kebanyakan bukan sepantaran kita-kita yang masih mudah belia.
Kecurigaan terjawab ketika hanya ada satu fakultas yang menjadi pesaing kita dalam hal umur, Fakultas Hukum. Merka juga mengirimkan para dara mudanya. Ini bisa dimaklumi karena memang dulu pada waktu rapat di Fakultas, Pak Dekan mengatakan bahwa petugas yang menjadi pengawas memang diambilkan dari para senior yang sudah berNIP. Alasannya sebenarnya juga cukup rasional. Menjadi pengawas untuk UN yang berperan atas nasib banyak siswa, apalagi di daerah mereka, di sekolah mereka sendiri, pasti cukup banyak intrik. Para pengawas akan berhadapan dengan pengawas lokal dan yang pasti adalah kepala sekolah yang punya kepentingan atas anak-anak didiknya. Jadi jika yang dikirim adalah dosen yang cukup tua, setidaknya mereka bisa menghormati dan menyegani wibawa para pengawas. Alasan yang lain, dengan punya NIP berarti yang diutus adalah benar-benar pegawai Negara yang dipekerjakan di kampus, bukan anak-anak kecil yang baru menyandang honorer atau calon pegawai (berdasarkan SK). Dan yang paling saya ingat, Pak Dekan mengatakan bahwa ini tugas Negara, tidak bisa dirintangi oleh alasan tugas apapun.
Berkenaan dengan alasan terakhir tersebut, saya pernah punya pengalaman menangani pelatihan. Seorang koordinator peserta dari sebuah sekolah menanyakan NIP saya. Saya jawab saja, saya belum punya NIP. Ternyata reaksi mereka sudah tidak respek lagi dan menganggap saya anak kemaren sore. Mudah-mudahan tidak demikian sebenarnya. Mudah-mudahan si penanya tersebut memang sedang berniat mencari mantu yang sudah ada NIPnya.
Kembali lagi ke ruang Garuda Mukti di rektorat. Seorang pembicara mengatakan bahwa seharusnya, nilai UN dari SMA bisa digunakan oleh pihak PTN sebagai pertimbangan untuk menerima mahasiswa. Akan tetapi, kredibilitas UN masih diragukan. Masyarakat lebih percaya dengan UMPTN (atau sejenisnya). Mendengar itu, dengan lirih teman saya bertanya, “Kok yang diawasi prosesnya ya? Seharusnya UN sendiri juga patut dikoreksi lagi isinya. Dengan seenaknya saya menjawab, “Tenang Bro, ini memang pekerjaan berbasis masalah, berpatokan pada problem, merespon pandangan negatif masyarakat. Jadi ini seperti obat yang menjadi solusi atas masalah yang dipersepsikan”.
Tidak berselang lama, ternyata benar, seorang pembicara mengatakan bahwa pekerjaan ini berbasiskan pada kecurigaan. Jadi jangan mempermasalahkan UN-nya, tetapi fokus saja pada persoalan penawasannya. Kalau ngotak-atik UN itu bukan wewenang kita. Demikian kira-kira beliau berbicara.
Ternyata berbasis kecurigaan ini benar adanya. Ceritanya begini. Pada sesi Tanya jawab, saya bertanya untuk memperjelas alasan penujukan atau pemilihan dosen yang ditugaskan. Saya minta untuk dijelaskan tentang spesifikasi sampai pada kompetensinya. Hal ini mengingat dari kampus saya yang diturunkan adalah dosen-dosen mudah yang bisa dibilang masih umbelen (ingusan). Pertanyaan yang lain berasal dari seorang ibu yang memperjelas apakah petugas boleh pergi pulang (PP), karena menurut beliau tugas pengawas hanya sampai siang. Si ibu mengatakan bahwa ia punya anak yang masih harus disusui.
Bagaimanakan jawaban dari para pembicara yang tentunya sudah makan banyak asam garam kehidupan dan sudah menyelami banyak pikiran dan perasaan orang? Salah seorang pembicara menanyakan dengan nada guyon kepada sang ibu, “Menyusui anaknya kan? Bukan menyusui yang lain kan?”. Pembicara yang lain mengatakan itu sebagai alasan penolakan terhadap tugas. Demikian juga dengan jawaban untuk saya yang berbalik menjadi tuduhan bahwa saya beralasan tidak kompeten untuk memikul tugas ini.
Yang perlu diluruskan adalah jawabannya. Jawaban ini menunjukkan memang pekerjaan ini seluruhnya berbasis pada masalah dan kecurigaan akan adanya masalah. Si ibu yang menyusui padahal hanya tanya soal bolehkan tidak menginap di sana. Beliau mala dicurigai menjadikan alasan menyusui untuk tidak menjalankan tugas. Sementara saya yang ingin memperjelas spesifikasi dan kompetensi sebagai alasan penunjukan malah dicurigai tidak kompeten dan menjadikannya sebagai alasan untuk mengingkari tugas.
Demikian pengalaman saya berhadapan dengan pekerjaan yang berbasis permasalahan dan kecurigaan. Mudah-mudahan tidak menular ke anak cucuk kita kelak. Saatnya kita menuju pada era pemberdayaan dan positive inquiry in daily life.

Rudi Cahyono (click)



23 Maret 2009

SOMATIC LEARNING HAS BEEN KILLED

Alkisah datanglah sebuah kesempatan yang menuntun saya pergi ke kota bagian timur dari Jawa, Jember. Tugas dari kampus membuat saya mencicipi untuk kali kedua ke kota kecil yang luas tersebut. Kali kedua, karena seminggu sebelumnya saya juga mendatanginya untuk urusan penggalian data sehubungan dengan kegiatan seminar pada kali kedua saya ke jember.

Kesempatan santai di sela jam istirahat untuk makan dan sholat Jumat, saya bertemu dengan seorang teman yang mempertaruhkan dirinya untuk menjadi pendidik di sebuah universitas yang memfokuskan diri pada dunia kependidikan. Dia adalah seorang dosen baru di sana.

Kebetulan teman saya ini lulusan dari perguruan tinggi yang sama dimana ia sekarang mendedikasikan sebagian hidupnya, kalu tidak disebut memberikan seluruh hatinya. Karena satu sebab ini, sedikit banyak ia mengenal dalemannya fakultas beserta orang-orang yang lebih lama menghuni tempat itu.

Singkat kata (bergaya SBY), ia curhat sehubungan dengan betapa kenalnya ia dengan kampus tercintanya. Perlu dijadikan landasan pengetahuan terlebih dahulu, teman saya ini merupakan orang yang supel, ramah, banyak teman, sopan, suka humor, bercanda dan ekspresif. Untuk ciri yang terakhir ini ia memulai curahan hatinya. Saking ekspresifnya, sampai-sampai ketulusan hatinya terbahasakan dalam gerak tubuh yang lincah mengikuti perasaannya yang terkadang meledak-ledak. Letupan-letupan dahsyat tersebut menunjukkan keenceran otaknya yang terus mengalir, mencipta, berkreasi, memodifikasi dan mengasosiasi.

Kekuatan yang seharusnya menjadi kebanggaan ini justru menjadi topik curhat dengan tema keluahan. Sebagai dosen baru, ia berusaha mengerem inisiatifnya untuk tidak terlalu berani banyak berinisiatif, mencoba-coba, atau mencari gara-gara. Lebih amannya ia mengambil langkah pasif-reaktif dalam bekerja dan bekerja sama dengan rekan muda dan tua di kampusnya.

Namanya juga anak muda, sesekali ia juga kelepasan dengan otak bocornya. Seperti yang pernah dikatakan Romi Rafael (Master Hipnotis), bahwa bahasa yang tidak bisa menipu adalah bahasa tubuh. Tidak jarang gestur dan ekspresinya menggambarkan keceriaan yang menjadi indikator kecerdasannya. Untuk satu ekspresi ia harus membayarnya dengan mahal. Pembimbing tugas akhirnya pernah berkata bahwa ia kekanak-kanakan, meski sang pembimbing tau ada kedewasaan di dalam dirinya. Tapi bagian perkataan “kedewasaan” lebih menjadi basa-basi, karena sarang dan judgement yang paling kuat adalah pada, “Jangan selengekan!”. Hal yang sudah lama ia sadari ini mengingatkan kembali bahwa ia haru hati-hati bersikap. Pengalaman ini menjadi lebih reliable ketika seorang dosen senior mengatakan bahwa ia mbegeges dengan kata-kata, “Koe iku wis dosen, ojok mbegeges wae!”. Pengalaman kedua membuat ia menjadi lebih tidak enak lagi, sehingga ia terpaksa harus ambil aksi diam untuk beberapa hari. Alasannya tentu saja karena ia tidak ingin bertindak salah. Image bahwa ia petakilan (setidaknya bagi dosen tua) sudah lama tertaman, sampai suatu ketika gerak matanya yang aktif berpikir dipandang sebagai tidak memandang (tidak menghargai) orang yang sedang berbicara.

Suatu ketika terbukalah satu tabir lagi. Teman dekatnya yang juga dosen ternyata selama ini juga memandangnya sebagai orang yang cengengesan. Teman yang biasanya bercengkerama, bermain, guyonan, mempunyai pendapat yang sama dengan para dosen tua. Sepertinya si teman ini mengemban misi suci pesan dari dosen tua untuk membawa teman saya kembali ke “jalan yang benar”.

Temanku hanya bisa bilang, “Saya ini belajar juga dengan tubuh. Setiap molekul dalam tubuh saya belajar jauh lebih aktif ketika saya bergerak. Saya juga bertipe somatik. Saya salah satu dari sekian banyak yang dianggap gila hanya karena memberikan hak pada tubuh untuk bergerak dan belajar”. Ia mengatakan ini karena ia yakin bahwa temannya itu akan lebih ngerti mengingat mereka berasal dari universita yang bergerak di bidang kependidikan yang seharusnya tuntas dalam mempelajari soal Learning.

Pengalaman ini menunjukkan kepada kita bahwa norma yang disepakati kadang lebih kejam dari pada hukum yang menguasai hajat hidup manusia. Pandangan (mindset) juga menjadi saudara tiri yang tidak kalah kejamnya dalam menjustifikasi orang. Norma yang lebih berpihak pada tradisi yang dianggap sopan tidak mengakomodir hak untuk sekedar tersenyum, memekarkan otak dan menjadi lebih cerdas.

Norma tidak jarang hanya menempat eksistensi dengan tidak memuat esensi. Orang sudah lupa fungsi dan dengan manfaat apa norma dijalankan. Keterikatan pada cara dengan melupakan tujuan membuat jalan tak berarah. Senjata akhir untuk sebuah alasan tidak lebih dari jawaban, “Pokoknya itu, harus begitu!”. Bahkan ukurannya menjadi alasan untuk menanamkan suka atau tidak suka.

Lalu, esensi apa yang dikosongkan dari wadahnya? Pemahaman akan perbedaan. Pandangan saya yang sudah lama dipersenjatai dengan rasionalisasi individual differences, lebih setuju jika kita meninjau kembali justifikasi yang sudah tidak punya alasan relevan tersebut. Apa yang diucapkan oleh teman saya merupakan siksaan yang ia alami. Coba bayangkan jika deng menahan tersenyum dan menggerakkan tubuh sesuai kata hati, seseorang harus mengorbankan pengembangan myelin, mempercepat pemunahan neuron dan penyusutan otak. Molekul-molekul yang senantiasa menuntut haknya untuk ikut serta dalam pembelajaran tubuh menjadi bisu, kelu dan membeku.

Tempat belajar temanku yang bergeak di bidang kependidikan tersebut seharusnya mewadahi kebebasan gerak temanku dengan alasan sedikit pengetahuan tentang modalitas belajar SAVI (somatic, auditory, visual dan intelectual). Sepertinya keluhan teman saya ini juga sebagai bentuk perlindungan dari kebiasaan lama yang melarang siswa untuk berjalan-jalan, melompat, berbicara, tertawa. Tentu kita masih ingat ketika kita tidak boleh berisik atau membuat gaduh pada waktu TK atau SD dulu. Atau ketika pulang dengan mematung (anteng-antengan), siapa yang diam pulang lebih dulu. Ini merupakan warisan politis dalam membelenggu kita untuk tidak menjadi lebih pintar.

Sekarang coba bayangkan jika dosen muda tersebut adalah Anda. Apakah Anda akan menjadikan diri Anda bodoh sedikit demi sedikit? Sekarang berpindahlah tempat dan lihatlah diri Anda di tempat yang lama tadi. Bayangkan jika yang Anda lihat adalah anak Anda. Apakah Anda juga akan membiarkan anak Anda batal untuk menjadi lebih cerdas? Sekarang naiklah ke meja atau kursi yang ada di dekat Anda (hanya jika Anda tidak mengharamkan tindakan tersebut). Lihatlah diri Anda yang pertama. Bayangkan bahwa Anda sebagai orang tuanya sekarang juga merupakan dosen senior dari Anak Anda. Apa yang akan Anda lakukan terhadapnya?

Rudi Cahyono

16 Maret 2009

APRESIASI UNTUK YANG TAK TERAPRESIASI


Suatu ketika saya pernah nongkrong di kantin bersama dengan mahasiswa. Sebagian adalah mahasiswa lama yang menjadi macan kampus. Sebagian besar di antaranya adalah mahasiswa yang dicap dengan berbagai atribut yang tidak kalah buruk dengan masa studinya yang semakin melar.
Memang jauh hari sebelum detik nongkrong di kampus itu saya sudah kenal baik dengan mereka. Paling tidak waktu studi mereka yang lama menyediakan waktu yang lumayan untuk lebih berakrab-akrab.
Teman-teman ini yang menyediakan lahan luas untuk menjadikan yang tidak penting adalah justru sesuatu yang penting. Mereka yang menyediakan tawa pembebas dari berpikir linear yang analitis. Membuat saya (dan mungkin juga mereka) menjadi jauh lebih kratif. Membebaskan kebuntuan yang biasanya dimanjakan oleh sekat-sekat ruang kerja yang stag dalam spesialisasi.
Ngobrollah di situ tentang berbagai hal sehari-hari yang tidak jarang memecah gelak tawa. Sampai pada guyonan tentang apa yang biasanya mereka lakukan, hal yang menghasilkan kehidupan cukup untuk ukuran mahasiswa, pekerjaan sebagai wirausaha. Banyak langkah simpel yang tidak diajarkan di buku. Mualai dari menangkap peluang dari acara-acara kecil yang diselenggarakan mahasiswa sampai acara kolosal milik kantor pusat. Seorang CEO muda yang juga mahasiswa sudah cukup untuk menaklukkan semua tetek bengek urusan manajerial tim: promosi dan publikasi, perencanaan, pembuatan desain, pelaksanaan dan pengambilan keuntungan. Saya tercengang cara marketing mereka yang sangat peka untuk selalu memeriksa agenda kampus. Mereka memasukkan kontrak pada pekerjaan yang vital tetapi susah untuk ditangani sendiri oleh orang rektorat. Dari Penanganan vital tersebut, mereka bergerak mantab untuk merambah pekerjaan yang lain dengan menawarkan kemanjaan bagi mereka, kemudahan tanpa merasa gerah dan lelah.
Bagaimana cara mereka menangani tugas dan memanajemeni pekerjaan bukan hal yang penting. Hanya saja, kepiawaian mereka dalam mengelola pekerjaan ini sama sekali tidak menyelamatkan mereka dari jaring ancaman jatah masa studi yang semakin menipis. Bahkan karena terlampau menikmati perjalanan kuliah yang panjang tersebut, mereka hanya mendapatkan basa-basi yang artinya tidak lebih dari kata bodoh.

appreciate to you all my friends

Rudi Cahyono

23 Januari 2009

menjadi everything

Hari ini merupakan hari "apa saja", bahkan bisa dikatakan hari-hariku, everything. Berawal dari dijalaninya pilihan yang menghendaki penyesuaian, orang-orang yang bekerja dengan cepat berdasarkan asumsi untuk menghasilkan justifikasi. Hari ini adalah hari apa saja, semua pekerjaan dipilihkan, bukan memilih. Sedikit saja mereka tak berselera, maka kita akan teraniaya dalam prasangka.
Ini adalah sebuah cerita tentang teman baru di tempat kerja yang masih berusaha menemukan alur dan jalurnya. Berbagai gambaran tentang impian yang ia bawa selama ini ketika menemukan wadah untuk menjadi, telah sirna dimakan kenyataan yang mengiringi dengan membabibuta. Dia memahami bahwa dirinya kali ini adalah everything.
Ada dua pilihan yang bisa ditempuh ketika posisi everything sedang disandang. Pilihan pertama adalah menyadari diri everything dan melihatnya sebagai sebuah olokan. Artinya, pilihan ini menjadikan orang bisa terombang-ambing dalam kesegalanyaan tersebut. Diri sudah mulai hilang, kompetensi sudah dienyahkan, keinginan telah tergadaikan.
Pilihan yang kedua adalah menghilangkan diri. Kesadaran penuh dibutuhkan dalam hal ini. Kesadaran bahwa dirinya telah meniada dan membentuk keberadaan baru tanpa bentuk. Namun demikian, beberapa hal patut dicoba untuk bisa menikmati ketiadaan dalam kesegalaan (everything), yaitu:
1. jalani saja tanpa interupsi,
2. terima saja tanpa mencari,
3. jangan terlalu merasa,
4. nikmati ketika sendiri,
5. tunjukkan kapasitas tatkala bersama

Rudi Cahyono

07 Januari 2009

SMALL THINGS TO BE HAPPY

Menjadi bahagia seperti sebuah pencarian. Berbekal angan dan membawa segudang simpanan masa lalu yang bersinar, uang yang bertumpuk, penghargaan selangit, jabatan setinggi bukit, istri yang cantik dan kharisma yang tak tertandingi. Modal yang akan kita bawa dengan tas penjelajah, tongkat penunjuk arah. Melalui jalan terjal berliku, berjibun duri dan onak, jalan menukik dan menanjak.

Namun bahagia menghampiri dan berlari seperti gadis penari yang melambai dan menghilang. Fatamorgana yang terus diincar dan dikejar. Tapi semakin diburu, bahagia makin menghindar. Itulah jika kebahagiaan itu adalah sesuatu, kebahagiaan itu adalan target, kebahagiaan itu adalah tujuan. Kita melupakan bahwa bahagia di sini dan ada saat ini, dalam diri dan menunggu untuk dibangkitkan. Takdir untuk bahagian ini telah lama dilupakan, tak pernah dirasakan bahkan malah dicampakkan. Karena itu, yang terpenting adalah menyadari adanya bahagia, membangkitkan kebahagiaan dan mengabadikan dalam kehidupan.

Bagaimana cara merasakan dan memelihara kebahagiaan dalam diri? Ada beberapa hal kecil yang bisa dibiasakan agar kita bergumul dengan kebahagiaan diri kita yang selalu lincah, ceria, setiap saat tertawa menggoda, mengajak bermain dan berdendang, menyenandungkan lagu alam yang mempesona.


Biarkan rasa syukur berlomba dengan pikiran dan perbuatan

Segala yang kita pikirkan, sikap dan perilaku yang kita jalankan, semua menyumbang pada buah rasa. Kebahagiaan adalah produk dari apa yang mereka upayakan. Setiap bagian kadang berlomba untuk memberikan reaksi yang menjadi pemicu kesedihan atau kebahagiaan. Tidak jarang ketika kita bahagian, aksinya dipotong oleh prasangka yang membidani lahirnya kekhawatiran. Bahkan reaksi sedih yang menyesatkan kadang mendahului bertumbuhnya bunga cita.

Gunakan setiap bagian yang sedang bahagian untuk menularkan kepada jiwa dan raga. Jika pikiran sedang bahagian larutkan padanya dan abaikan udara yang gerah. Jika pikiran sedang kalut, serahkan semuanya pada hembusan udara, harumnya semerbak bunga, kemolekan yang bergerak di depan mata. Jika kita menemukan sebuah kejadian, apapun rasa yang akan timbul sepersekian detik kemudian, interupsilah. Tepuklah tangan, jentikkan jari, kedipkan mata dan katakana, “Alhamdulillah”, “puji Tuhan”, “luar biasa”, “hebat”. Kedipkan mata berkali-kali, biarkan bolanya dialiri air kebahagiaan. Dari mana asal cairan yang membahagiakan tersebut? Bantulah air tersebut untuk mengolah dirinya. Kembangkan senyum dan berhentilah ketika hati merasa bahagia dan tawa terasa tulus. Segera larutlah dalam tawa dan berbinarnya mata.


Berhentilah dan biarkan semua mengalun

Banyak di antara kita yang dihantui masa lalu dan tak sedikit yang diburu-buru untuk mengejar masa depan. Kita ambil contoh saja ketika mengendarai motor. Ada dua tipe orang kebanyakan, beberapa orang melamunkan semua kejadian yang berlalu, meratapi nasib dan menyesali pilihan. Orang seperti ini biasanya mengendarai motor dengan lamban, sampai disadarkan oleh klakson truk atau tabrakan becak. Tipe yang lain berpikir tentang tempat tujuan, waktu yang akan menjelang. Pengendara motor yang kedua ini akan cenderung ngebut sengebut-ngebutnya. Mereka ingin cepat samapi di tempat tujuan dan berusaha menghemat waktu. Masa depan telah menariknya begitu kuat hingga dirinya sendiripun tidak berdaya.

Coba sekali sekali atau mungkin dibiasakan untuk menikmati lampu merah dan segala yang melintas dan terpampang di sekitar perhentiannya. Paculah sesuai kata hati dan nikmati sapuan angina di kulit dan desirannya di telinga. Dengarkan setiap suara yang menyapa dan tersenyumlah kendati hanya lalat yang menyapa. Hidupkan irama dari setiap gerak yang menyatu dalam perjalanan.


Ayunkan diri ikuti goncangan

Setiap hari banyak sekali orang yang merasa tersandung dengan musibah, merasakan perjalanan yang tidak mulus. Goncangan hidup ramah menyapa, membebaskan kita untuk menanggapi. Seperti halnya hokum alam, ada aksi dan ada reaksi. Hanya saja, reaksi yang biasanya terjadi adalah melawan. Padahal, dalam sebuah sistem yang disipatif, perlawanan tersebut akan menjadi aksi untuk reaksi berikutnya. Akibatnya goncangan itu akan semakin kuat, kembali menerjang dan mengirimkan badai re-reaksinya.

Pililhan yang lain adalah menyatu dengan goncangan dan nyanyikanlah lagu dengan banyak re re re re….. Lihat, dengar dan rasakan goncangannya. Resapi dan pahami, sehingga kita tahu gerak gemulai apa yang bisa kita tarikan, senandung lagu apa yang bisa kita alunkan, nada apa yang bisa kita santunkan. Jadilah bagian dari goncangan, sehingga semua membentuk harmoni.


Rudi Cahyono

05 Januari 2009

Tertawalah, Tertawailah

Tidak ada ruginya berasumsi bahagia, karena apapun itu, berasumsi sudah menjadikan bahagia. Semua lebih sering tidak seperti yang kita duga.

Takdir Anda adalah Bahagia

Banyak cara untuk menjadi sukses, menjadi kaya, menjadi berkuasa. Beberapa orang telah mencapai beberapa di antaranya. Sebagian orang telah berkuasa, sebagian yang lain telah menjadi sukeses dan sisanya telah menjadi kaya. Butuh upaya yang tidak terlalu sulit untuk mencapainya. Dengan ketiganya, apakah kita lantas dapat meraih bahagia?
Ini persoalan yang berbeda lagi. Bahagia adalah tentang dialog. Makna yang dibentuk dari interaksi antara satu orang dengan orang lain adalah kesepakatan untuk mendialogkan kebahagiaan sebagai proses sekaligus hasil. Kesepakatan yang melahirkan makna merupakan double dialog antara pembentukan makna bersama dengan penciptaan makna diri. Dialog terjadi secara simultan, dengan orang lain dan dengan diri sendiri. Kesepakatan yang melahirkan rasa senang, rasa suka cita, rasa bahagia, selain sebagai konvensi juga merupakan milik bersama yang dikatakan sebagai rasa buat bersama, misalnya antar pertemanan atau dalam keluarga. Secara eksternal, kebahagian yang seperti ini akan nampak jelas. Ambil contoh saja tentang dekorasi interior rumah. Kesepakatan antar anggota keluarga untuk mendesain ruang tamu, sumbangsih anak-anak untuk warna ruang tengah, atau hiasan masing-masing kamar yang mengakomodasi penghuninya. Tampak jelas.
Bagaimana dengan kebahagiaan yang kemudian diresapi sendiri. Sebagai dialog simultan antara bahagia yang dikonstruksi bersama dan yang dibentuk dalam diri, ini bisa berupa proses lanjut yang saling memantul untuk akhirnya menghasilkan bahagia yang dikehendaki, dikehendaki, dikehendaki.... tanpa terbatas, sampai akhirnya terbentur dengan yang namanya sedih. Di sinilah tercipta kebahagiaan sejati atau kebahagiaan semu, dimana kesedihan turut berpadu. Keputusan untuk apa yang akan dirasakan oleh hati juga didialogkan dengan kepala. Luaran internal sebagai sedih atau bahagia ini merupakan hasil akhir dari rasa yang diekpresikan dengan tawa atau tangis.
Namun bagaimana mengonstruksikan kebahagiaan dalam keadaan sendiri? Porsi dialog yang lebih besar terletak pada kontempelasi. Segala paradoks sedih dan senang menjadi hak pribadi untuk membuncahkan dalam rasa. Akan lebih mudah bagi orang yang terbiasa dengan dialog diri untuk menghasilkan rasa. Pantulan internal antar berbagai simpanan memori dan imajinasi membentuk rasa, pilihan kognisi akan warna senang atau sedih.
Perlu berbahagia juga bagi orang bertipe dialog eksternal. Jadilah diri Anda sebagaimana Anda suka. Anda adalah orang yang berhak menjadikan Anda siapapun sekaligus. Berbicaralah, tariklah ke atas, saksikan panggung pertunjukan Anda. Beri peringatan dan lakukan pemotongan jika perlu. Hidupkan ilustrasi, tepukkan tangan hingga penari latar beraksi. Hiaslah panggung Anda, tatalah lampu dan pencahayaannya. Senyumlah, tertawalah, menangislah untuk kehidupan skenario Anda. Jika Anda bisa menghidupkan dalam layar mata Anda yang berkedip lentik sampai senyum mengembang, kebahagiaan adalah otomatisasi dari kini dan di sini, menyekarang dan mendisini. Rasakah takdir Anda yang sebenarnya adalah bahagia.

Rudi Cahyono

22 Desember 2008

SEPATU DAN KEPALA NEGARA

sepatu oh sepatu....!

Sebuah benda nyata yang punya fungsi jelas, digunakan sebagai alas kaki. Ternyata sepatu bisa menjadi urusan negara, sepatu bisa membawa orang bertamasya melalui persidangan dan mendekam di penjara. Begitulah perjalanan Mutazar al-Zaidi.

Pekerjaan al-Zaidi mungkin belakangan ini terlalu overload. Seandainya dia konsisten dengan pekerjaan yang sejenis dan fokus menekuninya, mungkin kariernya tidak akan segemilang ini. Coba bayangkan jika ia tidak beranjak dari pekerjaan sebagai kuli disket (sekarang mungkin kuli flash disk kali ya), maka ia tidak akan mendapatkan berkah berupa ketenaran seperti sekarang ini.

Berawal dari inisiatifnya yang bagus dalam memperluas pekerjaannya, dari menjadi wartawan sampai pada nyambi menjadi pelempar sepatu. Jika kita pikir lagi, hal yang tidak nyambung, secara asosiatif bisa menjadi sebuah kreasi besar. Merupakan kombinasi yang apik antara pengais dan pelapor berita dengan pelempar sepatu.

Alih profesi (atau nyambi profesi lebih tepatnya) menjadi pelempar sepatu mulai ditekuni semenjak dia berhadapan dengan calon partner bisnisnya. Tidak tanggung-tanggung, ia memilih presiden Amerika Serikat, George Warrior Bush sebagai rekanannya.

Runut sejarah, Bush ternyata adalah kepala negara. Pada frasa "kepala negara" terdapat kata "kepala" yang pada kenyataannya merupakan bagian tubuh bagian atas dari manusia. Di situ terdapat rambut yang katanya disebut sebagai mahkota (oleh wanita) dan ada otak yang juga merupakan organ paling vital (bukannya organ vital itu....). Berdasarkan letak dan fungsinya yang terhormat, maka di beberapa budaya ditabukan untuk memegang, menjendul, atau menonjok kepala, apalagi melempar sepatu kepadanya. Nah, kebetulan yang mengalami pelemparan kepala tersebut juga sekaligus kepala negara. Luar biasa.

Pelemparan kepala Bush oleh al-Zaidi akhirnya juga melibatkan banyak orang dan dua negara karena telah diketahui oleh halayak. Mungkin jika pelemparan itu dilakukan di WC, maka Bush tidak bisa apa-apa, selain ngeden menahan rasa sakit dan ngeden yang lainnya.

Sepatu letaknya di bawah, berfungsi untuk alas kaki. Bagaimana jika dua buah sepatu secara bergantian melayang menuju kepada kepala dari kepala negara? Itulah yang menarik. Sebenarnya itu bisa menjadi versional jika dilihat dari dua sisi, sisi si pelempar sepatu dan sisi si kepala peresiden.

Sebenarnya tindakan tersebut merupakan perilaku yang tidak wajar. George Bush pun akan sepakat dengan ini, termasuk al-Zaidi sendiri. ya bagaimana mungkin sepatu bisa melayang dan menuju ke kepala. Di sepak bola saja ini sudah termasuk pelanggaran. Bedanya, di sepakbola karena ada kesepakatan yang jelas tentang aturan ini. Coba, Bush dan al-Zaidi menyepakati ini dulu, mungkin keduanya akan fine.

Hal ini akan bertahan dalam ketidakwajaran ketika Bush (mungkin bacanya Amerika Serikat) perilakunya sama dengan pengawal presiden yang berusaha menyelamatkan mukanya karena itu sudah tugasnya (baca jobdesc). Kalau tidak, maka mereka bisa dipecat tentunya. Tindakan mekanis yang sepatutnya tidak ditanggapi atau ditiru secara mekanis pula. Mudah-mudahan Bush bisa mendengar apa yang dikatakan al-Zaidi sehingga kesepakatan bia dibuat kembali seperti proses terbentuknya aturan dalam permainan bola.

Karena sebenarnya tindakan al-Zaidi yang berusaha merukunkan kepala dan sepatu itu menjadi rasional ketika ada jembatannya. Apa jembatan antara kepala dan kaki? Hati, hati adalah jawabannya. Hati al-Zaidi telah menggerakkan dia untuk mendialogkan sepatu dan kepala, kaki dan kepala negara.


Rudi Cahyono

06 Desember 2008

TRANSFORMASI CINTA

Ini adalah hari kedua setelah malam pertama diisi dengan kegiatan santai. Sebuah acara pelatihan untuk organisasi mahasiswa yang dinamai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Penalaran. Organisasi ini merupakan kumpulan dari mahasiswa yang menykai pergulatan dengan pemikiran, membuat karya tulis, program pengajian keilmuwan dan diskusi.


Seperti halnya hari ini, pelatihan diadakan sebagai penyambutan atau upacara inisiasi buat anggota baru, diselenggarakan di Batu 28-30 November 2008. Pelatihan semacam ini (yang biasa disebut dengan pendidikan latihan atau diklat) memang selalu diadakan setiap tahun ketika menerima anggota baru. Minggu pagi ini juga ada sekitar 60 orang peserta yang mengikuti materi hari ini.


Yang akan diceritakan kali ini adalah bagian transformasi cinta. Sesi ini merupakan amanat dari para senior organisasi yang menginginkan anak buahnya memiliki integritas dan mencitai organisasi.


Sebagai penyenang dan penyemangat awal, para peserta yang memang sudah dikelompokkan pada sesi sebelumnya, diajak untuk berpose di depan kamera. Tiap kelompok berhak untuk membentuk formasi dan bergaya yang seseru mungkin. Mereka diberikan kesempatan berfoto tiga kali yang kemudian dipilih salah satunya. Foto yang mereka pilih dicetak di kertas.


Focus dikembalikan kepada sesi inti. Sebagai stimulus awal, peserta diajak membiacarakan tentang organisasinya dan hubungan mereka dengan organisasi. Setiap peserta diajak untuk membayangkan benda, lokasi dan suasana yang menarik buat mereka. Berbagai hal atau benda bisa dibayangkan, bahkan imajinasipun tidak dilarang. Setelah membayangkan banyak hal, dibagikan kertas buat mereka, masing-masing satu lembar. Peserta diminta memilih salah satu benda, suasana atau keadaan yang menurut mereka mencerminkan organisasi mereka. Dibuatlah gambarnya di kertas. Peserta dikelompokkan dan tiap orang bercerita di dalam kelompoknya. Banyak cerita-cerita menarik yang muncul tentang analogi atau metaphor dari UKM Penalaran.


Sebagai tambahan, peserta diminta melipat kertasnya dua kali, sehingga membentuk dua garis yang saling tegak lurus berpotongan di tengah kertas. Peserta mengamati posisi gambarnya terhadap garis yang berpotongan. Ada yang tidak memotong sama sekali, kecil di bagian pojok kertas, namun ada juga yang tepat di tengah dan gambarnya cukup besar. Hal ini hanya sebagai tambahan yang menggambarkan tingkat intensi setiap anggota organisasi terhadap organisasinya. Atau lebih mudahnya disebut sebagai tingkat partisipasi atau keterlibatan. Semakin ke tengah atau memotong persilangan garis, tingkat kepecayaan diri anggota untuk terlibat dalam organisasi cukup besar.


Kembali kertas dibagikan untuk masing-masing orang. Sekarang tiap peserta diajak untuk membayangkan pengalaman masing-masing tentang kasmaran dan jatuh cinta. Kecintaan terhadap istri atau suami, pacar atau teman dibayangkan sampai detil. Dalam waktu satu menit, peserta diberikan kesempatan untuk mendaftar kata-kata kunci yang menggambarkan perasaan atau pikirannya tentang kasmaran.


Kembali ke dalam kelompok. Semua kata kunci yang didapat oleh kelompok, dipilih 10 kata yang paling menarik, menginspirasi atau menggairahkan.


Foto tiap kelompok yang sudah dicetak dibagikan. Dengan kertas manila, foto itu boleh ditempel dan dihias. Foto tersebut adalah gambaran organisasi. Cerita tentang organisasi muncul dari foto tersebut. Setiap kelompok mengobrolkan cerita-cerita tentang organisasi berdasarkan foto. Hasil dari sharing dituangkan dalam berbagai bentuk, bisa puisi, kata mutiara, motto, slogan, lagu atau akronim. Penuangannya dengan memanfaatkan 10 kata terpilih yang berhubungan dengan kasmaran atau jatuh cinta.


Hasilnya bermacam-macam, gambara tentang organisasi yang penuh cinta, guyub, saling toleran, saling mendukung, produktif, kompetitif dan sebagainya.


Pada akhirnya peserta menyimpulkan tentang kecintaannya terhadap organisasi dan fasilitasi transformasi cinta organisasi berhasil dilakukan.


Rudi Cahyono