23 Maret 2009

SOMATIC LEARNING HAS BEEN KILLED

Alkisah datanglah sebuah kesempatan yang menuntun saya pergi ke kota bagian timur dari Jawa, Jember. Tugas dari kampus membuat saya mencicipi untuk kali kedua ke kota kecil yang luas tersebut. Kali kedua, karena seminggu sebelumnya saya juga mendatanginya untuk urusan penggalian data sehubungan dengan kegiatan seminar pada kali kedua saya ke jember.

Kesempatan santai di sela jam istirahat untuk makan dan sholat Jumat, saya bertemu dengan seorang teman yang mempertaruhkan dirinya untuk menjadi pendidik di sebuah universitas yang memfokuskan diri pada dunia kependidikan. Dia adalah seorang dosen baru di sana.

Kebetulan teman saya ini lulusan dari perguruan tinggi yang sama dimana ia sekarang mendedikasikan sebagian hidupnya, kalu tidak disebut memberikan seluruh hatinya. Karena satu sebab ini, sedikit banyak ia mengenal dalemannya fakultas beserta orang-orang yang lebih lama menghuni tempat itu.

Singkat kata (bergaya SBY), ia curhat sehubungan dengan betapa kenalnya ia dengan kampus tercintanya. Perlu dijadikan landasan pengetahuan terlebih dahulu, teman saya ini merupakan orang yang supel, ramah, banyak teman, sopan, suka humor, bercanda dan ekspresif. Untuk ciri yang terakhir ini ia memulai curahan hatinya. Saking ekspresifnya, sampai-sampai ketulusan hatinya terbahasakan dalam gerak tubuh yang lincah mengikuti perasaannya yang terkadang meledak-ledak. Letupan-letupan dahsyat tersebut menunjukkan keenceran otaknya yang terus mengalir, mencipta, berkreasi, memodifikasi dan mengasosiasi.

Kekuatan yang seharusnya menjadi kebanggaan ini justru menjadi topik curhat dengan tema keluahan. Sebagai dosen baru, ia berusaha mengerem inisiatifnya untuk tidak terlalu berani banyak berinisiatif, mencoba-coba, atau mencari gara-gara. Lebih amannya ia mengambil langkah pasif-reaktif dalam bekerja dan bekerja sama dengan rekan muda dan tua di kampusnya.

Namanya juga anak muda, sesekali ia juga kelepasan dengan otak bocornya. Seperti yang pernah dikatakan Romi Rafael (Master Hipnotis), bahwa bahasa yang tidak bisa menipu adalah bahasa tubuh. Tidak jarang gestur dan ekspresinya menggambarkan keceriaan yang menjadi indikator kecerdasannya. Untuk satu ekspresi ia harus membayarnya dengan mahal. Pembimbing tugas akhirnya pernah berkata bahwa ia kekanak-kanakan, meski sang pembimbing tau ada kedewasaan di dalam dirinya. Tapi bagian perkataan “kedewasaan” lebih menjadi basa-basi, karena sarang dan judgement yang paling kuat adalah pada, “Jangan selengekan!”. Hal yang sudah lama ia sadari ini mengingatkan kembali bahwa ia haru hati-hati bersikap. Pengalaman ini menjadi lebih reliable ketika seorang dosen senior mengatakan bahwa ia mbegeges dengan kata-kata, “Koe iku wis dosen, ojok mbegeges wae!”. Pengalaman kedua membuat ia menjadi lebih tidak enak lagi, sehingga ia terpaksa harus ambil aksi diam untuk beberapa hari. Alasannya tentu saja karena ia tidak ingin bertindak salah. Image bahwa ia petakilan (setidaknya bagi dosen tua) sudah lama tertaman, sampai suatu ketika gerak matanya yang aktif berpikir dipandang sebagai tidak memandang (tidak menghargai) orang yang sedang berbicara.

Suatu ketika terbukalah satu tabir lagi. Teman dekatnya yang juga dosen ternyata selama ini juga memandangnya sebagai orang yang cengengesan. Teman yang biasanya bercengkerama, bermain, guyonan, mempunyai pendapat yang sama dengan para dosen tua. Sepertinya si teman ini mengemban misi suci pesan dari dosen tua untuk membawa teman saya kembali ke “jalan yang benar”.

Temanku hanya bisa bilang, “Saya ini belajar juga dengan tubuh. Setiap molekul dalam tubuh saya belajar jauh lebih aktif ketika saya bergerak. Saya juga bertipe somatik. Saya salah satu dari sekian banyak yang dianggap gila hanya karena memberikan hak pada tubuh untuk bergerak dan belajar”. Ia mengatakan ini karena ia yakin bahwa temannya itu akan lebih ngerti mengingat mereka berasal dari universita yang bergerak di bidang kependidikan yang seharusnya tuntas dalam mempelajari soal Learning.

Pengalaman ini menunjukkan kepada kita bahwa norma yang disepakati kadang lebih kejam dari pada hukum yang menguasai hajat hidup manusia. Pandangan (mindset) juga menjadi saudara tiri yang tidak kalah kejamnya dalam menjustifikasi orang. Norma yang lebih berpihak pada tradisi yang dianggap sopan tidak mengakomodir hak untuk sekedar tersenyum, memekarkan otak dan menjadi lebih cerdas.

Norma tidak jarang hanya menempat eksistensi dengan tidak memuat esensi. Orang sudah lupa fungsi dan dengan manfaat apa norma dijalankan. Keterikatan pada cara dengan melupakan tujuan membuat jalan tak berarah. Senjata akhir untuk sebuah alasan tidak lebih dari jawaban, “Pokoknya itu, harus begitu!”. Bahkan ukurannya menjadi alasan untuk menanamkan suka atau tidak suka.

Lalu, esensi apa yang dikosongkan dari wadahnya? Pemahaman akan perbedaan. Pandangan saya yang sudah lama dipersenjatai dengan rasionalisasi individual differences, lebih setuju jika kita meninjau kembali justifikasi yang sudah tidak punya alasan relevan tersebut. Apa yang diucapkan oleh teman saya merupakan siksaan yang ia alami. Coba bayangkan jika deng menahan tersenyum dan menggerakkan tubuh sesuai kata hati, seseorang harus mengorbankan pengembangan myelin, mempercepat pemunahan neuron dan penyusutan otak. Molekul-molekul yang senantiasa menuntut haknya untuk ikut serta dalam pembelajaran tubuh menjadi bisu, kelu dan membeku.

Tempat belajar temanku yang bergeak di bidang kependidikan tersebut seharusnya mewadahi kebebasan gerak temanku dengan alasan sedikit pengetahuan tentang modalitas belajar SAVI (somatic, auditory, visual dan intelectual). Sepertinya keluhan teman saya ini juga sebagai bentuk perlindungan dari kebiasaan lama yang melarang siswa untuk berjalan-jalan, melompat, berbicara, tertawa. Tentu kita masih ingat ketika kita tidak boleh berisik atau membuat gaduh pada waktu TK atau SD dulu. Atau ketika pulang dengan mematung (anteng-antengan), siapa yang diam pulang lebih dulu. Ini merupakan warisan politis dalam membelenggu kita untuk tidak menjadi lebih pintar.

Sekarang coba bayangkan jika dosen muda tersebut adalah Anda. Apakah Anda akan menjadikan diri Anda bodoh sedikit demi sedikit? Sekarang berpindahlah tempat dan lihatlah diri Anda di tempat yang lama tadi. Bayangkan jika yang Anda lihat adalah anak Anda. Apakah Anda juga akan membiarkan anak Anda batal untuk menjadi lebih cerdas? Sekarang naiklah ke meja atau kursi yang ada di dekat Anda (hanya jika Anda tidak mengharamkan tindakan tersebut). Lihatlah diri Anda yang pertama. Bayangkan bahwa Anda sebagai orang tuanya sekarang juga merupakan dosen senior dari Anak Anda. Apa yang akan Anda lakukan terhadapnya?

Rudi Cahyono

16 Maret 2009

APRESIASI UNTUK YANG TAK TERAPRESIASI


Suatu ketika saya pernah nongkrong di kantin bersama dengan mahasiswa. Sebagian adalah mahasiswa lama yang menjadi macan kampus. Sebagian besar di antaranya adalah mahasiswa yang dicap dengan berbagai atribut yang tidak kalah buruk dengan masa studinya yang semakin melar.
Memang jauh hari sebelum detik nongkrong di kampus itu saya sudah kenal baik dengan mereka. Paling tidak waktu studi mereka yang lama menyediakan waktu yang lumayan untuk lebih berakrab-akrab.
Teman-teman ini yang menyediakan lahan luas untuk menjadikan yang tidak penting adalah justru sesuatu yang penting. Mereka yang menyediakan tawa pembebas dari berpikir linear yang analitis. Membuat saya (dan mungkin juga mereka) menjadi jauh lebih kratif. Membebaskan kebuntuan yang biasanya dimanjakan oleh sekat-sekat ruang kerja yang stag dalam spesialisasi.
Ngobrollah di situ tentang berbagai hal sehari-hari yang tidak jarang memecah gelak tawa. Sampai pada guyonan tentang apa yang biasanya mereka lakukan, hal yang menghasilkan kehidupan cukup untuk ukuran mahasiswa, pekerjaan sebagai wirausaha. Banyak langkah simpel yang tidak diajarkan di buku. Mualai dari menangkap peluang dari acara-acara kecil yang diselenggarakan mahasiswa sampai acara kolosal milik kantor pusat. Seorang CEO muda yang juga mahasiswa sudah cukup untuk menaklukkan semua tetek bengek urusan manajerial tim: promosi dan publikasi, perencanaan, pembuatan desain, pelaksanaan dan pengambilan keuntungan. Saya tercengang cara marketing mereka yang sangat peka untuk selalu memeriksa agenda kampus. Mereka memasukkan kontrak pada pekerjaan yang vital tetapi susah untuk ditangani sendiri oleh orang rektorat. Dari Penanganan vital tersebut, mereka bergerak mantab untuk merambah pekerjaan yang lain dengan menawarkan kemanjaan bagi mereka, kemudahan tanpa merasa gerah dan lelah.
Bagaimana cara mereka menangani tugas dan memanajemeni pekerjaan bukan hal yang penting. Hanya saja, kepiawaian mereka dalam mengelola pekerjaan ini sama sekali tidak menyelamatkan mereka dari jaring ancaman jatah masa studi yang semakin menipis. Bahkan karena terlampau menikmati perjalanan kuliah yang panjang tersebut, mereka hanya mendapatkan basa-basi yang artinya tidak lebih dari kata bodoh.

appreciate to you all my friends

Rudi Cahyono