25 Oktober 2008

KisAh bOLa bEkeL

Sebuah percakapan kecil dengan teman (Yanta) di sebuah kantor di hari libur:

Aku : Kamu bisa main bola bekel?
Yanta : Nggak bisa. Dari dulu aku nggak bisa main bekel. Ngglundhung terus…
Aku : Terus kalau ada orang yang ngasih kamu bola bekel, gmana?
Yanta : Ya, aku buat maenan sendiri. Buat lempar-lemparan ajah. Kalau kamu mas?
Aku : Yah, mungkin sama ajah.

Yak, kita seringkali merasa bahwa dunia yang kita lingkupi selalu penuh dengan aturan yang harus diikuti. Seperti dalam permainan bola bekel, bola menggelinding atau terlepas artinya kalah. Sebagian orang sangat mahir bermain bola bekel, sebagian lain tidak. Bagi yang tidak bisa bermain bekel tentunya bola bekel bisa menjadi beban (cost) atau menjadi sumber daya (source). Tergantung bagaimana dia beraksi dengan bola tersebut. Jika bola itu hanya dibiarkan saja, otomatis akan memakan tempat (space) dan berakhir menjadi barang tidak berguna (unuseful).

Orang ini mau tak mau harus memanfaatkan bola bekel supaya menjadi berguna (useful). Dalam hal ini berarti harus memainkannya. Satu-satunya hambatan yang dimiliki adalah aturan main bola bekel sejak dulu sudah ditentukan, yakni melempar bola ke atas dan mengambil biji-biji yang tersedia kemudian menangkap kembali bola tersebut setelah memantul satu kali di tanah. Jika bola terlepas atau memantul lebih dari satu kali, maka pemain harus memainkan mulai dari awal. Artinya, pemain kalah.

Sekarang, bayangkan jikalau kita dapat merubah sedikit saja aturan main. Misalnya, jumlah minimal pantulan lebih dari satu. Seorang pemain pemula pun akhirnya juga dapat mendapatkan kesenangan dari bola bekel tersebut. Dia telah menjadikan bola tersebut useful. Lebih jauh lagi bayangkan ketika aturan lama sudah benar-benar ditinggalkan atau bahkan nama bola tersebut sudah bukan lagi nama bola bekel. Tentu lebih banyak kesenangan yang kita dapatkan dari sebuah bola yang dulunya bernama bola bekel.

Terkadang di dalam hidup, langkah tegar kita terhenti hanya karena hal tersebut tidak sesuai aturan. Aturan yang telah memberikan batasan-batasan bagaimana kita melangkah atau memainkan suatu peran tidak jarang justru menjadi peran itu sendiri dan langkah kita hanyalah pelengkap baginya. Kita mulai tercerabut dari visi kita sesungguhnya. Aturan mengangkangi impian kita dengan segala sanksi dan ketakutan yang disebarkan bersamaan dengan konsensus yang mengiringinnya.

Tepat karenanya, apa yang dilakukan oleh teman saya terhadap bola bekelnya. Jika kita dapat mengambil pelajaran dari situ:
Bila tidak tahu aturannya, pelajari!
Bila tahu aturannya, jalankan!
Bila tidak bisa menjalankan, buat aturan mainmu sendiri!

=d4uz=
=nyawa seroja berhunus senjata=

21 Oktober 2008

TITIK PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Sebagai pembuka kiranya lebih enak kalau dimulai dengan cerita-cerita dulu. Lagian kan emang udah lama nggak cerita-cerita di sini.

Alkisah ada woro-woro pemberian kesempatan untuk duduk nyaman di kursi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tentunya didahului dengan status Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pasca palu tanda sah administrasi menyatakan bahwa kita resmi punya nomor ujian.

Mundur sejenak pada pendaftaran yang memang waktu itu saya sebagai pelamar membuka peluang untuk memperluas pandang dengan melamar lebih dari satu tempat, tapi sebagai satu peran, yaitu dosen. 4 perguruan tinggi ternama di dua kota menjadi sasaran tembak.

Beberapa perguruan tinggi punya kemungkinan kans dapat dimasuki atas beberapa pertimbangan. Kata dapat dimasuki berarti memang dapat masuk, siapa saja dan dari mana saja. Seperti halnya "sesuatu yang dapat dimakan". Batu, sendal, bola, besi dan lain sebagainya barang-barang yang bahkan dengan gigi aja tidak bersahabat, juga bisa dimakan. Pertanyaannya kemudian adalah, adakah orang yang memutuskan untuk sekedar mau menjilatinya? Seperti itulah perguruan tinggi yang saya pilih untuk dijadikan pilihan, semua bisa dimasuki, hanya saja apakah kemudian saya mau untuk memasukinya.

Satu perguruan tinggi (sebut PTN 1) adalah tempat akar keilmuan saya dilahirkan, yaitu kampus tercinta dimana saya disebut alumni setelah berhasil lolos darinya. Hanya itu kekuatannya, saya adalah alumni. PTN yang lain (sebut PTN 2) menawarkan kemungkinan sedikitnya pesaing karena banyak dari pelamar yang belum memenuhi syarat administrasi untuk mendapatkan nomor peserta ujian. Di tengah jalan menimbangpun, banyak pertimbangan bahwa yang satu ini punya kepedulian yang bagus terhadap dosen dan karyawan, termasuk pengembangan kualitas SDMnya. Selain itu, ada sumringah kegirangan dari petugas penerima pendaftaran ketika nama saya berhasil masuk jadi calon kandidat. Perguruan tinggi berikutnya (sebut PTN 3) memang banyak pesaing karena tergolong mudah dalam meloloskan berkas-berkas untuk ditukar dengan beberapa digit nomor sebagai prasyarat berstatus CPNS. Sedangkan yang terakhir (sebut PTN 4) jelas punya kemungkinan besar untuk sekedar diterima karena di hari terakhir baru ada dua orang yang mendaftar. Apalagi satu competitor sudah mengharapkan dirinya untuk tidak diterima.

Keinginan besar untuk membayangkan masa depan yang baik memilih PTN 2 dengan lambaian tangan pilu untuk meninggalkan PTN tanah kelahiran (PTN 1). Apalagi kabarnya PTN 1 sudah menggandeng lulusan terbaik satu angkatan. Selain itu, merupakan tindakan berani meninggalkan PTN 4 yang kansnya lebih besar. Hanya memang, PTN 4 katanya belum begitu bagus dalam pengembangan SDMnya. Yang resmi untuk dinyatakan ditinggalkan adalah PTN 3. Perlu diketahui, semua PTN tersebut hanya membutuhkan 1 tambahan tenaga pengajar.

Kemantapan hati jatuh di PTN 2 sampai akhirnya sebuah pengalaman batin tak biasa mengembalikan pilihan dengan cepat ke kampus halaman. Hanya terpaut sekian menit keputusan berubah total. Gambaran kemudahan akan hilangnya kesulitan ketika memilih kampus sendiri mulai muncul. Kekhawatiran akan competitor sirna dengan argument tujuan luhur bahwa tidak ada ruginya ketika kita ingin kembali mengabdikan ilmu di kampus yang menjadikan kita lebih pintar, meskipun akhirnya bisa jadi tidak diterima. Itulah nilai plus yang menghilangkan kegundahan.

Pilihan adalah jalan hidup yang menyediakan kesempatan. Orang terbodoh pun bisa jadi diterima (dengan atau tanpa rekomendasi) jika memang kesempatan yang diberikan berpihak padanya. Hanya saja apakah orang terpilih tersebut mau menggunakan kesempatan tersebut untuk hidup lebih baik dan meningkatkan kualitas dirinya, belajar dan belajar. Jika kesempatan tidak perpihak, maka sebenarnya kita dirahkan untuk melihat dunia lebih luas dengan berbagai kesempatan lainnya yang lebih banyak.

Keputusan adalah persinggungan garis lurus nonlinear yang bersilangan menghasilkan bobot tertentu. Simpul-simpul pilihan akan melatih kita untuk menimbang dengan rasio dan intuisi. Semua simpul punya probabilitas yang sama, baik simpul besar atau simpul pertemuan beberapa untai garis saja. Secara rasio, semua keuntungan yang terbayang di PTN 4 yang bisa jadi lebih mudah diterima atau PTN 2 yang menggiurkan di masa depan. Namun secara nilai, keinginan untuk mengabdi adalah bagian lain dari hitung-hitungan untung rugi. Dan yang terakhir adalah permainan intuisi dengan energi murni yang memberikan jawaban bahwa tempatmu adalah di kampung halamanmu, PTN 1.

Persilangan benang pertimbangan bisa membentuk lebih dari satu simpul yang semuanya bisa memiliki bobot yang berbeda. Secara rasio, simpul terberat mempunyai pertimbangan untuk dipilih daripada simpul yang kecil. Dalam hal ini simpul yang besar adalah PTN 2 atau PTN 4. Tapi secara intuitif, semua PTN mempunyai kemungkinan yang sama. Dalam pengalaman saya, perkawinan antara rasio dan intuitif melahirkan pilihan PTN 1.

Pengambilan keputusan model seperti inilah yang saya lakukan karena hal ini melahirkan kenyamanan dan menghilangkan kegundahan. Mungkin inilah yang disebut kata hati nurani.