15 April 2009

NEGATIVE WORKING

Kemaren saya dan teman-teman muda dari Fakultas Psikologi diundang di rektorat untuk rapat singkat pembekalan bagi dosen-dosen yang akan terjun bebas ke lapangan perang, mengawasi UN di beberapa kota, Gresik, Tuban, Lamongan dan Bojonegoro. Kita diberikan tugas menjadi pengawas dari pengawas ujian untuk SMA dan MAN di beberapa kota tersebut.
Datang direktorat agak kaget juga karena di pintu lift, yang sama-sama memencet tombol untuk mengangkat kita ke lantai lima ternyata juga ada banyak orang. Rata-rata mereka adalah wajah-wajah senior yang bisa dibilang sudah cukup sepuh. Temanku mulai curiga bahwa yang diundang memang kebanyakan bukan sepantaran kita-kita yang masih mudah belia.
Kecurigaan terjawab ketika hanya ada satu fakultas yang menjadi pesaing kita dalam hal umur, Fakultas Hukum. Merka juga mengirimkan para dara mudanya. Ini bisa dimaklumi karena memang dulu pada waktu rapat di Fakultas, Pak Dekan mengatakan bahwa petugas yang menjadi pengawas memang diambilkan dari para senior yang sudah berNIP. Alasannya sebenarnya juga cukup rasional. Menjadi pengawas untuk UN yang berperan atas nasib banyak siswa, apalagi di daerah mereka, di sekolah mereka sendiri, pasti cukup banyak intrik. Para pengawas akan berhadapan dengan pengawas lokal dan yang pasti adalah kepala sekolah yang punya kepentingan atas anak-anak didiknya. Jadi jika yang dikirim adalah dosen yang cukup tua, setidaknya mereka bisa menghormati dan menyegani wibawa para pengawas. Alasan yang lain, dengan punya NIP berarti yang diutus adalah benar-benar pegawai Negara yang dipekerjakan di kampus, bukan anak-anak kecil yang baru menyandang honorer atau calon pegawai (berdasarkan SK). Dan yang paling saya ingat, Pak Dekan mengatakan bahwa ini tugas Negara, tidak bisa dirintangi oleh alasan tugas apapun.
Berkenaan dengan alasan terakhir tersebut, saya pernah punya pengalaman menangani pelatihan. Seorang koordinator peserta dari sebuah sekolah menanyakan NIP saya. Saya jawab saja, saya belum punya NIP. Ternyata reaksi mereka sudah tidak respek lagi dan menganggap saya anak kemaren sore. Mudah-mudahan tidak demikian sebenarnya. Mudah-mudahan si penanya tersebut memang sedang berniat mencari mantu yang sudah ada NIPnya.
Kembali lagi ke ruang Garuda Mukti di rektorat. Seorang pembicara mengatakan bahwa seharusnya, nilai UN dari SMA bisa digunakan oleh pihak PTN sebagai pertimbangan untuk menerima mahasiswa. Akan tetapi, kredibilitas UN masih diragukan. Masyarakat lebih percaya dengan UMPTN (atau sejenisnya). Mendengar itu, dengan lirih teman saya bertanya, “Kok yang diawasi prosesnya ya? Seharusnya UN sendiri juga patut dikoreksi lagi isinya. Dengan seenaknya saya menjawab, “Tenang Bro, ini memang pekerjaan berbasis masalah, berpatokan pada problem, merespon pandangan negatif masyarakat. Jadi ini seperti obat yang menjadi solusi atas masalah yang dipersepsikan”.
Tidak berselang lama, ternyata benar, seorang pembicara mengatakan bahwa pekerjaan ini berbasiskan pada kecurigaan. Jadi jangan mempermasalahkan UN-nya, tetapi fokus saja pada persoalan penawasannya. Kalau ngotak-atik UN itu bukan wewenang kita. Demikian kira-kira beliau berbicara.
Ternyata berbasis kecurigaan ini benar adanya. Ceritanya begini. Pada sesi Tanya jawab, saya bertanya untuk memperjelas alasan penujukan atau pemilihan dosen yang ditugaskan. Saya minta untuk dijelaskan tentang spesifikasi sampai pada kompetensinya. Hal ini mengingat dari kampus saya yang diturunkan adalah dosen-dosen mudah yang bisa dibilang masih umbelen (ingusan). Pertanyaan yang lain berasal dari seorang ibu yang memperjelas apakah petugas boleh pergi pulang (PP), karena menurut beliau tugas pengawas hanya sampai siang. Si ibu mengatakan bahwa ia punya anak yang masih harus disusui.
Bagaimanakan jawaban dari para pembicara yang tentunya sudah makan banyak asam garam kehidupan dan sudah menyelami banyak pikiran dan perasaan orang? Salah seorang pembicara menanyakan dengan nada guyon kepada sang ibu, “Menyusui anaknya kan? Bukan menyusui yang lain kan?”. Pembicara yang lain mengatakan itu sebagai alasan penolakan terhadap tugas. Demikian juga dengan jawaban untuk saya yang berbalik menjadi tuduhan bahwa saya beralasan tidak kompeten untuk memikul tugas ini.
Yang perlu diluruskan adalah jawabannya. Jawaban ini menunjukkan memang pekerjaan ini seluruhnya berbasis pada masalah dan kecurigaan akan adanya masalah. Si ibu yang menyusui padahal hanya tanya soal bolehkan tidak menginap di sana. Beliau mala dicurigai menjadikan alasan menyusui untuk tidak menjalankan tugas. Sementara saya yang ingin memperjelas spesifikasi dan kompetensi sebagai alasan penunjukan malah dicurigai tidak kompeten dan menjadikannya sebagai alasan untuk mengingkari tugas.
Demikian pengalaman saya berhadapan dengan pekerjaan yang berbasis permasalahan dan kecurigaan. Mudah-mudahan tidak menular ke anak cucuk kita kelak. Saatnya kita menuju pada era pemberdayaan dan positive inquiry in daily life.

Rudi Cahyono (click)